Senin, 10 Desember 2012

Indonesia Tempo Doeloe OLD TIMES NEVER DIE…

Plesiran di Batavia

Welrevreden adalah kota baru di pinggiran Batavia yang dibangun oleh penguasa Belanda pada pertengahan abad ke-17 sebagai “tempat berteduh”. Di kawasan ini banyak dibangun rumah-rumah peristirahatan dan taman-taman besar, seperti Waterloo Plein (kini Lapangan Banteng), Wilhelmina Park (kini Masjid Istiqlal) dan Koningsplein (kawasan Monas). Lingkungannya yang lebih sehat ketimbang daerah bisnis dan pemerintahan menjadikannya tempat favorit bagi turis-turis asing yang berkunjung ke Batavia.
Karena sering didatangi turis, Weltevreden memiliki banyak hotel. Di sana ada Hotel des Indes , Hotel der Nederlanden, Grand Hotel de Java, dan lain-lain.
Apa yang dilakukan para turis itu selama mengunjungi Batavia? Tentu saja jalan-jalan keliling kota…Indonesia begitu, indah dimata dunia.
  
Jadwal Kereta Tempo Doeloe

Pemerintah kolonial Belanda dulu membagi kota Batavia menjadi dua kawasan. Kawasan pertama adalah Batavia lama, tempat kegiatan pemerintahan dipusatkan dan berada di tepi laut. Daerah Kota dan Tanjung Priok termasuk dalam kawasan ini. Kawasan kedua adalah wilayah yang dibangun untuk tempat tinggal yang diberi nama Weltevreden.
Karena pintu masuk ke Batavia saat itu hanya ada di pelabuhan Tanjung Priok, pemerintah kolonial merasa perlu mengoperasikan kereta api yang menghubungkan “kota bawah” (Batavia) dan “kota atas” (Weltevreden). Trayek ini dilayani oleh dua jawatan yang berbeda, yaitu Staatsspoorwegen (S.S) milik pemerintah dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S) yang dioperasikan oleh swasta. Para pelancong asing yang baru tiba di pelabuhan bisa langsung menuju hotel tempat mereka menginap di Weltevreden dengan menggunakan layanan kereta ini.
Untuk memudahkan mereka dibuatlah jadwal kereta yang melayani trayek tersebut. Trayek ini dibagi menjadi dua rute: Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Kemajoran) dan Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Koningsplein, kini bernama Gambir).
Kereta api paling pagi berangkat pukul 06.14 dari Tandjong Priok dan hanya sampai stasiun Batavia (kini Kota). Kereta terusan ke Koningsplein baru berangkat pukul 09.06, singgah di stasiun Batavia pukul 9.23, stasiun Noordwijk (kini Juanda) pukul 9.41 dan tiba di Koningsplein jam 9.44. Kereta berikutnya berangkat pukul 9.15 melalui rute lain dan tiba stasiun Kemajoran pukul 9.38.
Rute Tandjong Priok-Koningsplein menempuh waktu sekitar 38 menit, lebih lama 15 menit dibandingkan rute Tandjong Priok-Kemajoran karena harus singgah di stasiun Batavia dan Noordwijk.
Untuk rute Tandjong Priok-Kemajoran, penumpang dikenakan tarif sebesar 0,4 gulden (40 sen) untuk kelas satu dan 0,25 gulden untuk kelas dua. Sementara rute Tandjong Priok-Koningsplein mengenakan tarif 0,6 gulden untuk kelas satu dan 0,35 gulden untuk kelas dua.
Kereta terakhir dari Tandjong Priok berangkat pukul 18.29 tapi hanya sampai Batavia. Para pelancong yang menggunakan kereta ini terpaksa harus menggunakan moda transportasi lain seperti trem atau sado untuk meneruskan perjalanan mereka ke Weltevreden
.
 

Naik kereta api, tut-tut-tut…

Sejarah transportasi kereta api di Indonesia mungkin termasuk yang tertua di dunia. Pada tahun 1864, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah membangun lintasan rel dari desa Kemijen (Semarang) ke Tanggung (Grobogan), meski di Inggris kereta api sudah digunakan sebagai alat transportasi sejak tahun 1830. Dalam konteks alih teknologi, selang waktu 34 tahun termasuk cepat pada waktu itu, mengingat jauhnya jarak dunia Barat dan Timur, serta terbatasnya moda angkutan antar benua yang hanya mengandalkan kapal laut.
Perkembangan transportasi ini begitu pesat. Jika pada tahun 1864 panjang rel yang dibangun baru 25 km, pada tahun 1900 lintasannya sudah mencapai 3.338 km, bertambah 133 kali lipat dalam kurun waktu 36 tahun! Suatu pencapaian luar biasa yang pernah ditorehkan bangsa Belanda di negeri jajahannya.

Quote:
“Perjalanan dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui Solo(Soerakarta), tapi rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi dataran rendah yang dipenuhi persawahan. Aku menyarankan rute yang lebih menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang berangkat pukul 5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore. Kereta yang berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya aku menumpang kereta yang berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun pindah ke kereta lain. Selama dua jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan dan padang rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan bukit-bukit di kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini kami capai pada pukul 5 sore, dimana kami bisa merasakan sejuknya semilir angin dan menikmati keindahan alam serta matahari terbenam di gunung kecil di depan hotel.
“Keesokan harinya pada pukul 8.54, aku ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul 5.57 dan tak lama kemudian sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan loko cog-wheel karena daerah yang akan kami lewati nanti terlalu berat bagi loko biasa. Kereta kemudian berjalan lagi memutari bukit-bukit yang dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta pun terus naik ke atas hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin (makan siang) harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke gerbong.
“Kira-kira pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan perjalanan ke Djocja pun dimulai melalui Magelang. Bagi mereka yang ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan rute ini.”

Lain Belanda, lain pula Jepang. Saat Indonesia diduduki oleh Negeri Matahari Terbit itu, perkeretapian kita ikut mengalami dampak buruknya. Batang-batang rel sepanjang 901 km dibongkar lalu dipindahkan ke Burma. Untungnya pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, para karyawan kereta api mengambil alih kuasa perkeretaapian dari tangan Jepang pada 28 September 1945. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Kereta Api di Indonesia. 
Stasiun Bogor 1904

Foto Stasiun Bogor yang diambil pada tanggal 08-10-1904 oleh M. Louise Treub, seorang kerabat dari Melchior Treub (1851-1910) yang saat itu menjabat sebagai kepala Kebun Raya Bogor.
Bangunan ini adalah bagian dari sejarah perkeretaapian di Indonesia. Pada tahun 1881, pemerintah kolonial membangun perhentian terakhir untuk jalur kereta api yang menghubungkan kota Batavia dan Buitenzorg (nama Bogor ketika itu). Sebelumnya, kedua kota hanya dihubungkan oleh moda transportasi tradisional seperti kereta kuda.
Bentuk bangunan ini tidak berubah hingga sekarang, termasuk empat bilah pintu dari kayu. Begitu pula dengan interior di dalamnya seperti peron dan ruang-ruang kantor.
Sayang, keindahannya kini tertutup oleh tenda-tenda pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang jalan di depan stasiun itu. Puluhan angkot yang lalu lalang mencari penumpang juga ikut menambah keruwetan.
Jejak sejarah semakin terkikis oleh gaya hidup manusia modern. Entah sampai kapan kita dapat menyaksikannya tegak berdiri di tengah keangkuhan kota yang tak peduli lagi dengan estetika masa lalu.
(Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda)
 
Jalan-jalan di Passer Baroe

Tiga lelaki Belanda tengah menikmati suasana Passer Baroe, Agustus 1930. Yang paling kiri adalah Hans Dokkum, sekretaris direktur dan pemilik Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA), D.W. Berretty.
Berretty tewas setelah pesawat rute Amsterdam-Batavia yang ditumpanginya jatuh di perbatasan Irak-Suriah, Desember 1934. Kantor berita ANETA (yang gedungnya hanya sepelemparan batu dari Passer Baroe) lalu dikendalikan oleh Dokkum tapi kemudian diambil alih oleh pemerintah kolonial pada tahun 1935.
Dokkum yang kecewa dengan pengambilalihan itu lalu pulang ke negerinya, tapi kemudian kembali lagi ke Hindia Belanda pada 1937 untuk bekerja di koran Java Bode. Enam bulan kemudian Dokkum terkena pnemonia dan meninggal dunia pada Juli 1938. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Belanda di kawasan Tanah Abang (kini bernama Taman Prasasti).
Hal menarik yang pernah diungkapkan Dokkum kepada keluarganya adalah bahwa ANETA sebetulnya adalah kepanjangan dari “Altijd Nummer Een Trots Alles” yang artinya “selalu menjadi nomor satu dalam segala hal”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar