Plesiran di Batavia
Welrevreden
adalah kota baru di pinggiran Batavia yang dibangun oleh penguasa
Belanda pada pertengahan abad ke-17 sebagai “tempat berteduh”. Di
kawasan ini banyak dibangun rumah-rumah peristirahatan dan taman-taman
besar, seperti Waterloo Plein (kini Lapangan Banteng), Wilhelmina Park
(kini Masjid Istiqlal) dan Koningsplein (kawasan Monas). Lingkungannya
yang lebih sehat ketimbang daerah bisnis dan pemerintahan menjadikannya
tempat favorit bagi turis-turis asing yang berkunjung ke Batavia.
Karena
sering didatangi turis, Weltevreden memiliki banyak hotel. Di sana ada
Hotel des Indes , Hotel der Nederlanden, Grand Hotel de Java, dan
lain-lain.
Apa yang dilakukan para turis itu selama mengunjungi Batavia? Tentu saja jalan-jalan keliling kota…Indonesia begitu, indah dimata dunia. Jadwal Kereta Tempo Doeloe
Pemerintah
kolonial Belanda dulu membagi kota Batavia menjadi dua kawasan. Kawasan
pertama adalah Batavia lama, tempat kegiatan pemerintahan dipusatkan
dan berada di tepi laut. Daerah Kota dan Tanjung Priok termasuk dalam
kawasan ini. Kawasan kedua adalah wilayah yang dibangun untuk tempat
tinggal yang diberi nama Weltevreden.
Karena pintu masuk ke Batavia
saat itu hanya ada di pelabuhan Tanjung Priok, pemerintah kolonial
merasa perlu mengoperasikan kereta api yang menghubungkan “kota bawah”
(Batavia) dan “kota atas” (Weltevreden). Trayek ini dilayani oleh dua
jawatan yang berbeda, yaitu Staatsspoorwegen (S.S) milik pemerintah dan
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S) yang dioperasikan
oleh swasta. Para pelancong asing yang baru tiba di pelabuhan bisa
langsung menuju hotel tempat mereka menginap di Weltevreden dengan
menggunakan layanan kereta ini.
Untuk memudahkan mereka dibuatlah
jadwal kereta yang melayani trayek tersebut. Trayek ini dibagi menjadi
dua rute: Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Kemajoran) dan Tandjong
Priok-Weltevreden (stasiun Koningsplein, kini bernama Gambir).
Kereta
api paling pagi berangkat pukul 06.14 dari Tandjong Priok dan hanya
sampai stasiun Batavia (kini Kota). Kereta terusan ke Koningsplein baru
berangkat pukul 09.06, singgah di stasiun Batavia pukul 9.23, stasiun
Noordwijk (kini Juanda) pukul 9.41 dan tiba di Koningsplein jam 9.44.
Kereta berikutnya berangkat pukul 9.15 melalui rute lain dan tiba
stasiun Kemajoran pukul 9.38.
Rute Tandjong Priok-Koningsplein
menempuh waktu sekitar 38 menit, lebih lama 15 menit dibandingkan rute
Tandjong Priok-Kemajoran karena harus singgah di stasiun Batavia dan
Noordwijk.
Untuk rute Tandjong Priok-Kemajoran, penumpang dikenakan
tarif sebesar 0,4 gulden (40 sen) untuk kelas satu dan 0,25 gulden untuk
kelas dua. Sementara rute Tandjong Priok-Koningsplein mengenakan tarif
0,6 gulden untuk kelas satu dan 0,35 gulden untuk kelas dua.
Kereta
terakhir dari Tandjong Priok berangkat pukul 18.29 tapi hanya sampai
Batavia. Para pelancong yang menggunakan kereta ini terpaksa harus
menggunakan moda transportasi lain seperti trem atau sado untuk
meneruskan perjalanan mereka ke Weltevreden.
Naik kereta api, tut-tut-tut…
Sejarah
transportasi kereta api di Indonesia mungkin termasuk yang tertua di
dunia. Pada tahun 1864, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah
membangun lintasan rel dari desa Kemijen (Semarang) ke Tanggung
(Grobogan), meski di Inggris kereta api sudah digunakan sebagai alat
transportasi sejak tahun 1830. Dalam konteks alih teknologi, selang
waktu 34 tahun termasuk cepat pada waktu itu, mengingat jauhnya jarak
dunia Barat dan Timur, serta terbatasnya moda angkutan antar benua yang
hanya mengandalkan kapal laut.
Perkembangan transportasi ini begitu
pesat. Jika pada tahun 1864 panjang rel yang dibangun baru 25 km, pada
tahun 1900 lintasannya sudah mencapai 3.338 km, bertambah 133 kali lipat
dalam kurun waktu 36 tahun! Suatu pencapaian luar biasa yang pernah
ditorehkan bangsa Belanda di negeri jajahannya.
Quote:
“Perjalanan
dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui
Solo(Soerakarta), tapi rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi
dataran rendah yang dipenuhi persawahan. Aku menyarankan rute yang lebih
menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang berangkat pukul
5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore.
Kereta yang berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya
aku menumpang kereta yang berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai
di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun pindah ke kereta lain. Selama dua
jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan dan padang
rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan
bukit-bukit di kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini
kami capai pada pukul 5 sore, dimana kami bisa merasakan sejuknya
semilir angin dan menikmati keindahan alam serta matahari terbenam di
gunung kecil di depan hotel.
“Keesokan harinya pada pukul 8.54, aku
ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul 5.57 dan tak lama
kemudian sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan
loko cog-wheel karena daerah yang akan kami lewati nanti terlalu berat
bagi loko biasa. Kereta kemudian berjalan lagi memutari bukit-bukit yang
dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta pun terus naik ke atas
hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin (makan
siang) harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke
gerbong.
“Kira-kira pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan
perjalanan ke Djocja pun dimulai melalui Magelang. Bagi mereka yang
ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan rute ini.”
Lain
Belanda, lain pula Jepang. Saat Indonesia diduduki oleh Negeri Matahari
Terbit itu, perkeretapian kita ikut mengalami dampak buruknya.
Batang-batang rel sepanjang 901 km dibongkar lalu dipindahkan ke Burma.
Untungnya pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Pasca kemerdekaan 17
Agustus 1945, para karyawan kereta api mengambil alih kuasa
perkeretaapian dari tangan Jepang pada 28 September 1945. Tanggal ini
kemudian ditetapkan sebagai Hari Kereta Api di Indonesia. Stasiun Bogor 1904
Foto
Stasiun Bogor yang diambil pada tanggal 08-10-1904 oleh M. Louise
Treub, seorang kerabat dari Melchior Treub (1851-1910) yang saat itu
menjabat sebagai kepala Kebun Raya Bogor.
Bangunan ini adalah bagian
dari sejarah perkeretaapian di Indonesia. Pada tahun 1881, pemerintah
kolonial membangun perhentian terakhir untuk jalur kereta api yang
menghubungkan kota Batavia dan Buitenzorg (nama Bogor ketika itu).
Sebelumnya, kedua kota hanya dihubungkan oleh moda transportasi
tradisional seperti kereta kuda.
Bentuk bangunan ini tidak berubah
hingga sekarang, termasuk empat bilah pintu dari kayu. Begitu pula
dengan interior di dalamnya seperti peron dan ruang-ruang kantor.
Sayang,
keindahannya kini tertutup oleh tenda-tenda pedagang kaki lima yang
berjualan di sepanjang jalan di depan stasiun itu. Puluhan angkot yang
lalu lalang mencari penumpang juga ikut menambah keruwetan.
Jejak
sejarah semakin terkikis oleh gaya hidup manusia modern. Entah sampai
kapan kita dapat menyaksikannya tegak berdiri di tengah keangkuhan kota
yang tak peduli lagi dengan estetika masa lalu.
(Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda) Jalan-jalan di Passer Baroe
Tiga
lelaki Belanda tengah menikmati suasana Passer Baroe, Agustus 1930.
Yang paling kiri adalah Hans Dokkum, sekretaris direktur dan pemilik
Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA), D.W. Berretty.
Berretty
tewas setelah pesawat rute Amsterdam-Batavia yang ditumpanginya jatuh
di perbatasan Irak-Suriah, Desember 1934. Kantor berita ANETA (yang
gedungnya hanya sepelemparan batu dari Passer Baroe) lalu dikendalikan
oleh Dokkum tapi kemudian diambil alih oleh pemerintah kolonial pada
tahun 1935.
Dokkum yang kecewa dengan pengambilalihan itu lalu pulang
ke negerinya, tapi kemudian kembali lagi ke Hindia Belanda pada 1937
untuk bekerja di koran Java Bode. Enam bulan kemudian Dokkum terkena
pnemonia dan meninggal dunia pada Juli 1938. Jenazahnya dimakamkan di
kuburan Belanda di kawasan Tanah Abang (kini bernama Taman Prasasti).
Hal
menarik yang pernah diungkapkan Dokkum kepada keluarganya adalah bahwa
ANETA sebetulnya adalah kepanjangan dari “Altijd Nummer Een Trots Alles”
yang artinya “selalu menjadi nomor satu dalam segala hal”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar